Di suatu malam tanggal 13 Mei 1998, disebrang Istana Merdeka
Tidak jauh dari pusat ibukota, jantung negeri tercinta
Sebuah bangunan tua peninggalan zaman kolonial berdiri tegak
Megah, angkuh
Tempat presiden rakyat memerintah
Orang menyebut Istana Merdeka
Namun dari sinilah awal pokok cerita bermula
Seiring kentong-kentong pos RW di kampung kumuh dipukul bertalu-talu
Laskar-laskar berserabutan, memencar bisu tanpa tujuan
Tanggal 13 Mei 1998, pukul nol nol
Dini hari yang misterius
Embun di luar mengguyur menambah kebekuan
Aku tersentak dari tidurku
Mimpi buruk membimbingku menyusuri lorong-lorong sunyi pekat
Langkah kakiku terhenti tak jauh dari gedung RRI
Istana kulihat diselimuti kabut
Tapi tak kulihat banyak tentara sebagaimana biasa
Ditinggalkan penghuninyakah ?
Dari pinggiran taman Monas, kupandangi Istana Merdeka
Ah, mengapa pemimpin negeri ini begitu bangga menapaki warisan kolonial ini
Ketika pikiranku menerawang, kuterkejut seseorang menyapaku
Di bawah temaram lampu remang-remang, kupastikan ia seorang lelaki tua
Eh, ia mengajakku bersalaman
Merdeka, Bung ! suaranya lirih
Merdeka ? Merdeka bung ?
Kutelisik raut wajahnya
Ia tersenyum
Aku tersentak kaget, mimpikah aku
Kulepas telapak tangannya yang dingin
Sedingin kujur tubuhku yang tiba-tiba saja menggelayut
Soekarnokah?
Tak sepatah kata pun ke luar dari mulutku, kecuali itu
Dan lelaki tua itu kembali tersenyum, dingin
Dengan bahasa isyarat, ia mengajakku berjalan bersama
Kami berjalan bersama, berjalan pelan-pelan
Aku, lelaki tua, dan bayang-bayang temaram lampu
Entah kenapa suasana hening
Di mana suara kentongan yang dipukul bertalu-talu tadi
Dari seberang jalan kami berpapasan dengan seorang lelaki pula
Wajahnya tak jelas karena ditutupi topi dan pakaian kusam model tahun 45
Lelaki tua di sampingku mendesis, Amir Syarifuddin
Amir Syarifuddin? Mr Amir Syarifuddinkah?
Tiba-tiba saja rasa takut yang menyelimuti diriku, tak bisa lagi kutahan
Di bawah ilusikah pikiranku malam ini?
Maka tak ayal, segera saja kutinggalkan lelaki tua itu
Kutinggalkan
Tinggallah dia sendirian
Yang masih menatap ke sebrang jalan.-
(Sanusi Arsyad)
Tinggalkan Balasan